Text
Evolusi Pengelolaan Taman Nasional : perubahan paradigma dan praktik pengelolaan TN Gunung Lauser, TN Bukit Duabelas, dan TN Bukit Lore Lindu
Merujuk pada pendapat Prof San Afri Awang dalam sambutan buku ini, tentang ”partisipasi pembebasan”, saya teringat pada model pembangunan yang berpusat pada manusia (people center) oleh budayawan (alm.) Dr Soedjatmoko era 1980-an. Sebenarnya pembangunan terpenting dalam sejarah manusia adalah pembangunan manusia itu sendiri. Pembangunan manusia seutuhnya. Pembangunan yang berpusat pada manusia ini saya coba padukan dari prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Yasraf A Piliang (2023) dengan Prinsip Tindakan Komunikasi Jurgen Habermas (1973, 2007) dan dikaitkan dengan model kelola kawasan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya.
Prinsip yang dikembangkan Habermas mirip konsep Yasraf A Piliang tentang Keutamaan Publik dan Prinsip Deliberasi. Keduanya akan menghasilkan apa yang disebut oleh Habermas sebagai: (1) Pencerahan, (2) Konsensus secara sadar, dan akhirnya mampu melakukan (3) Pembebasan manusia.
Bila Yasraf A Piliang menjelaskan prinsip-prinsip atau nilai-nilai keutamaan publik, Habermas menjelaskan tentang dua karakter ruang publik yaitu bebas dan kritis. Bebas berarti semua warga negara memiliki kebebasan dan kesempatan yang sama untuk berbicara, berkumpul dan berdiskusi secara partisipatif dalam debat politik. Bebas juga mengisyaratkan bahwa ruang publik bebas dari aneka paksaan, tekanan, dan diskriminasi. Kritis berarti siap dan mampu bersikap adil bertanggung jawab menggunakan rasio dalam menyikapi aneka persoalan yang bersifat publik.
Sejak 2018 sampai dengan saat ini, suasana semakin sejuk dan damai merebak di sebagian besar dari 6.700 desa penyangga. Apalagi zona trandisional telah ditetapkan seluas 2,4 juta Ha sebagai dasar legalitas agar masyarakat dapat akses legal bernama ”kemitraan konservasi” dengan hak dan kewajibannya membantu turut menjaga. Kondisi seperti ini meminjam temuan C Otto Scharmer dalam buku Intisari Teori U (2024) sebagai ladang sosial atau sosial field pada level tiga (empatic-relational) dan level empat (eco-system generative). Kedua level tersebut telah terbukti ampuh untuk menyambut masa depan pengelolaan taman nasional yang bernuansa humanis, yang menempatkan masyarakat sebagai bagian dari solusi dan pengembangan potensi kawasan konservasi. Tumbuh kesadaran kolektif dan meningkatnya kepedulian, kepeloporan, dan sekaligus kesejahteraannya.
Inilah jalan yang penulis yakini sebagai ”jalan pembebasan”. Jalan yang memanusiakan atau nguwongke masyarakat pinggir hutan di seluruh Indonesia. Masyarakat yang kaya akan etika kegotongroyongan dan menghormati bumi dan unsur-unsur lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Ronggowarsito di abad ke-18, bahwa bekal para pemimpin adalah menerapkan Hastabrata.
Tidak tersedia versi lain