Text
Analisis Wacana Media : peta kecenderungan aktor dalam isu moratorium
Pada tanggal 19 Mei 2011, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menandatangani Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, lazim disebut sebagai Inpres Moratorium, setelah sekian lama tertunda karena banyaknya kepentingan yang terlibat. Sejak pertama kali digagas sebagai bagian dari strategi REDD (Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) dalam kerangka Letter of Intent (LoI) antara Indonesia dan Norwegia yang disepakati di Oslo, Mei 2010, isu moratorium hutan memang telah menjelma menjadi sebuah polemik yang mencerminkan dahsyatnya pergulatan kepentingan para pihak yang berpotensi terdampak oleh pemberlakuan kebijakan tersebut.
Dari berbagai perdebatan mengenai hal ini, kita dapat menganalisis posisi dan kepentingan berbagai aktor yang terlibat, diantaranya pihak pemerintah (eksekutif), parlemen (DPR), kalangan pengusaha (khususnya pengusaha perkebunan dan kehutanan), dan masyarakat sipil yang diwakili kalangan organisasi non-pemerintah (NGOs).
Beberapa hal yang dianalisis dalam tulisan ini adalah polemik pasca-Inpres di media cetak yang cenderung mempertarungkan ‘ekologi’ dan ‘ekonomi’ dalam kerangka oposisi biner yang terlalu menyederhanakan persoalan dan bahkan menyesatkan sementara dimensi hak masyarakat diabaikan dalam perdebatan. Wacana yang sangat kuat disuarakan dalam periode penggodokan kebijakan moratorium ini adalah wacana ‘kepentingan asing’ dari pihak pengusaha yang menentang penerapan moratorium yang komprehensif.
Tidak tersedia versi lain