Text
Pandangan Hukum Hutan Adat Papua dan Papua Barat
Perjuangan Masyarakat Hukum Adat (MHA) terhadap ‘sebagian’ wilayah adatnya, mulai berbuah manis pada tanggal 16 Mei 2013. Pada hari itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 (Putusan MK 35/2012), MK menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi merupakan bagian dari Hutan Negara. Sebagai implementasi dari putusan tersebut, sejak tahun 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk pengakuan Hutan Adat. Selain melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh KLHK, keberadaan hutan adat ini didukung pula oleh komitmen politis pemerintahan Joko Widodo. Dukungan yang diberikan pemerintah berupa terintegrasinya ruang kelola MHA melalui skema perhutanan sosial (termasuk di dalamnya hutan adat) ke dalam RPJMN 2015-2019 seluas 12,7 juta hektare.
Dari 34 (tiga puluh empat) jumlah Provinsi yang ada di Indonesia, beberapa diantaranya diberi keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Misalnya Provinsi Papua dan Papua Barat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Meskipun telah memiliki kewenangan khusus untuk mengatur mengenai daerahnya, namun terkait dengan penetapan hutan adat, titik tekannya adalah pada penetapan status hutan yang merupakan kewenangan murni dari pemerintah pusat yang dalam hal ini adalah Menteri LHK. Sehingga yang perlu diperdebatkan adalah mengenai penetapan hutan adat dan mengenai pilihan-pilihan pengakuan MHA di Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang memiliki keistimewaan.
Tidak tersedia versi lain