Text
Quo Vadis Pembaruan Hukum Agraria : perspektif transitional justice untuk menyelesaikan konflik No. 3
Pengaturan mengenai penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) adalah salah satu bidang dalam tiga tahun belakangan mengalami proses perubahan yang terbilang intensif. Pada level UU, seperti hendak mengulangi peristiwa di penghujung medio tahun enam puluhan, serangkaian perubahan dan pembuatan pada UU yang mengatur sumber daya alam, tengah dilangsungkan. Masih sukar untuk disimpulkan motif apa yang melatari rangkaian perubahan tersebut. Apakah merupakan usaha untuk merespon kritik panjang dari sejumlah kalangan, terhadap politik penguasaan dan pengelolaan SDA rejim sebelumnya atau tengah menyiapkan diri dengan menyongsong era perdagangan bebas.
Apakah sejumlah UU baru dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut sengaja dibuat untuk menyelesaikan konflik SDA masa lalu, menata ulang struktur penguasaan dan pengelolaan agraria/SDA, memulihkan kerusakan lingkungan serta melatekan landasan prinsipal bagi politik penguasaan dan pengelolaan agraria/SDA masa depan, atau hanya sekedar merubah demi memenangkan ketidakpuasan publik, yang ujung-ujungnya berhenti pada kepentingan untuk memperpanjang supply legitimasi dari publik.
Tidak tertutup kemungkinan lain, perubahan tersebut tengah mempersiapkan episode baru peminggiran atas masyarakat lokal/adat dan pengrusakan lingkungan. Untuk saat sekarang, kedua rekaan itu sah saja untuk mengemuka, karena UU baru masih belum diimplementasikan secara penuh, sedangkan sebagian masih berupa RUU. Materi hukum yang akan dianalisa bukan hanya meliputi hukum perundang-udangan, tetapi juga hukum non perundang-udangan (hukum adat, putusan hakim, dll). Selain itu, kajian bukan hanya untuk hukum yang sedang berlaku (existing laws), melainkan termasuk untuk rancangan hukum. Kajian hukum ini hanya untuk hukum dan rancangan hukum yang mengatur mengenai penguasaan dan pengelolaan agraria/SDA.
Buku ini untuk mengecek maksud, tujuan dan orientasi dari sejumlah RUU tersebut adalah memberikan empat perkara, yakni: Pertama, apakah RUU tersebut menghindari sektoralisme. Kedua, apakah RUU tersebut mendorong kelestarian pengelolaan SDA. Ketiga, apakah RUU tersebut memposisikan masyarakat adat/lokal sebagai pengelola utama atas SDA. Keempat, apakah RUU tersebut memberikan hak kepada publik untuk berpartisipasi dalam pembuatan dan pengawasan. Kelima, apakah RUU tersebut membagi kewenangan secara proporsional antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Tidak tersedia versi lain